Wednesday, September 22, 2010

KESESATAN-KESESATAN MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB



Petikan dari kitab "At-Tahdzir asy-Syar'i Min-man Khalafa Ahlassunnah Wal Jama'ah" yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Mewaspadai Ajaran-Ajaran Sesat di Luar Ahlussunnah Wal Jama'ah oleh Penerbit SYAHAMAH


Golongan Wahhabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi (W. 1206 H). Muhammad ibn Abdul Wahhab (Perintis gerakan Wahhabiyyah) adalah seorang yang tidak diakui keilmuannya oleh para ulama. Bahkan saudaranya; Sulaiman ibn Abdul Wahhab menulis dua buah karya bantahan terhadapnya. Ini ia dilakukan karena Muhammad ibn Abdul Wahhab menyalahi apa yang telah disepakati oleh kaum muslimin baik di daerahnya maupun di tempat lain, baik dari kalangan pengikut madzhab Hanbali maupun pengikut mazhab lain.

Bantahan pertama berjudul ash-Shawa'iq alIlahiyyah dan yang kedua berjudul Fashl al Khitab fi ar-Raddi 'ala Muhammad ibn Abdil Wahhab. Begitu juga seorang ulama madzhab Hanbali ternama, seorang mufti Makkah pada masanya, Syekh Muhammad ibn Humaid, tidak menyebutkan nama Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam jajaran ulama madzhab Hanbali, padahal dalam kitabnya berjudul as-Suhub al Wabilah 'ala Dhara'ih al Hanabilah ia menyebutkan sekitar 800 ulama laki-laki dan perempuan dari kalangan madzhab Hanbali. Yang disebutkan dalam kitab tersebut adalah biografi ayahnya; Syekh Abdul Wahhab. Syekh Muhammad ibn Humaid memuji keilmuan ayahnya dan menyebutkan bahwa ayahnya ini semasa hidupnya sangat marah terhadap Muhammad (anaknya) tersebut dan memperingatkan orang-orang untuk menjauh darinya. Sang Ayah berkata: Maknanya:


يا ما ترون من محمد من الشر



"Kalian akan melihat kejahatan yang akan dilakukan oleh Muhammad". Syekh Muhammad ibn Humaid wafat sekitar 80 tahun setelah Muhammad ibn Abdul Wahhab. Muhammad ibn Abdul Wahhab telah membuat agama baru yang diajarkan kepada pengikutnya. Dasar ajarannya ini adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Dengan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdul Wahhab telah menyalahi firman Allah:


لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai segala sesuatu dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya” (QS. asy- Syura: 11)

Para ulama salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir. Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al Muhaddits as-Salafi ath-Thahawi (227 - 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama al Aqidah ath-Thahawiyah, teks pernyataannya adalah:



و من وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر

Maknanya: "Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.

Di antara keyakinan golongan Wahhabiyyah ini adalah mengkafirkan orang yang berkata: “Yaa Muhammad…”, mengkafirkan orang yang berziarah ke makam para nabi dan para wali untuk bertabarruk (mencari barakah), mengkafirkan orang yang mengusap makam para nabi untuk bertabarruk, dan mengkafirkan orang yang mengalungkan hirz (tulisan ayat-ayat al Qur’an atau lafazh-lafazh dzikir yang dibungkus dengan rapat lalu dikalungkan di leher) yang di dalamnya hanya tertulis al Qur’an dan semacamnya dan tidak ada sama sekali lafazh yang tidak jelas yang diharamkan. Mereka menyamakan perbuatan memakai hirz ini dengan penyembahan terhadap berhala.

Mereka (golongan Wahhabiyyah) dalam hal ini telah menyalahi para sahabat dan orang-orang salaf yang shalih. Telah menjadi kesepakatan bahwa boleh berkata“Yaa Muhammad…” ketika dalam kesusahan. Semua umat Islam bersepakat tentang kebolehan ini dan melakukannya dalam praktek keseharian mereka, mulai dari para sahabat nabi, para tabi’in dan semua generasi Islam hingga kini. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal;Imam Madzhab Hanbali yang mereka klaim di negeri mereka sebagai madzhab yang mereka ikuti, telah menyatakan kebolehan menyentuh dan meletakkan tangan di atas makam Nabi Muhammad, menyentuh mimbarnya dan mencium makam dan mimbar tersebut apabila diniatkan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan bertabarruk. Hal ini ia sebutkan dalam kitabnya yang sangat terkenal berjudul al Jami' fi al'Ilal wa Ma'rifati ar-Rijal.

Mereka telah menyimpang dari jalur umat Islam dengan mengkafirkan orang yang beristighatsah kepada Rasulullah dan bertawassul dengannya setelah wafatnya. Mereka berkata: “Bertawassul dengan selain yang hidup dan yang hadir (ada di hadapan kita) adalah kufur”. Atas dasar kaidah ini, mereka mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah tawassul ini dan menghalalkan membunuhnya. Pemimpin mereka Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata: “Barang siapa yang masuk dalam dakwah kita maka ia mendapatkan hak sebagaimana hak-hak kita dan memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban kita dan barang siapa yang tidak masuk (dalam dakwah kita) maka ia kafir dan halal darahnya”.

Bagi yang hendak mengetahui secara luas tentang dalil-dalil yang membantah pernyataan-pernyataan mereka, silahkan membaca kitab-kitab yang banyak ditulis dalam membantah mereka seperti kitab yang berjudul ar-Raddu al Muhkam al Matin karya seorang muhaddits daratan Maroko yaitu Syekh Abdullah al Ghammari dan kitab yang berjudul al Maqalat as-Sunniyah fi Kasyfi Dhalalat Ahmad ibn Taimiyah karya muhaddits daratan Syam; Syekh Abdullah al Harari. Kitab yang terakhir disebut ini dinamakan demikian karena Muhammad ibn Abdul Wahhab mengambil paham dalam mengharamkan tawassul kecuali dengan orang yang hidup dan yang hadir dari kitab-kitab Ibnu Taimiyah (W. 728 H).

Padahal Ibnu Taimiyah menyarankan bagi orang-orang yang terkena semacam kelumpuhan (al Khadar) pada kaki, hendaklah mengucapkan: "Yaa Muhammad...”. Pernyataan Ibnu Taimiyah ini ia tulis dalam karyanya al Kalim at-Thayyib terbitan al Maktab al Islami, Cet. Ke-5 tahun 1405 H/1985. Pernyataannya ini menyalahi apa yang ia tulis sendiri dalam karyanya at-Tawassul wa al Wasilah. Muhammad ibn Abdul Wahhab mengambil paham dalam mengharamkan tawassul dari kitab at-Tawassul waal Wasilah dan tidak menyetujui apa yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam kitab al Kalim ath-Thayyib.

Faedah:

Para ahli fiqh, hadits, tafsir serta para sufi di segenap penjuru dunia Islam telah menulis banyak sekali (lebih dari seratus) risalah-risalah kecil atau buku-buku khusus untuk membantah Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Di antaranya adalah Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H), Syekh Ibnu 'Abidin al Hanafi (W. 1252 H), Syekh Muhammad ibn Humaid (W. 1295 H) mufti Madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah, Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 1304 H) mufti madzhab Syafi’i di Makkah al Mukarramah dan ulama lainnya. Apa yang telah kami sebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari kesesatan Muhammad ibn Abdul Wahhab dan gerakannya (Wahhabiyyah). Karena itu, demi menjaga kemurnian ajaran yang dibawa oleh Rasulullah –shallallahu 'alayhi wasallam-, maka waspadalah terhadap ajaran-ajaran sesatnya, dan bagi yang telah mengetahui kesesatannya hendaklah memberitahukannya kepada yang belum mengetahui. Semoga bermanfaat, Amin.

Monday, September 20, 2010

MUJAHADAH DAN RIYADHAH


Oleh : Syeikh Habib

Segala puji dan puja kepada Allah yang tiada putus-putus mengurniakan nikmat dan rahmat kepada hamba-hambaNya. Dan sentiasa didalam keadaan melihat serta lemah lembaut terhadap hamba-hambaNya, serta mengasihi pula hamba-hambaNya yang melakukan kebaikan dan amat tidak menyukai kepada hamba-hambaNya yang hidup di dalam kelalaian dan melakukan maksiatan.
Selawat dan salam keatas nabi junjungan Muhammad s.a.w, penyejuk mata kita, kekasih kita dan ruh kita.

Ketahuilah wahai para murid yang menuju jalan kepada Allah, di dalam ilmu tasawuf dan tareqah, mujahadah dan riyadhah adalah dua perkara yang penting yang boleh dikatakan sebagai dasar atau rukun di dalam melalui perjalanan ke hadrat Allah s.w.t.
Mula-mula kita memerhatikan erti kedua istilah yang tersebut di sisi ahli tasawuf.

1. MUJAHADAH – Ertinya berjuang atau melawan hawa nafsu, melawan kehendak hawa nafsu jahat yang menghalangi seseorang murid itu serta godaan dan bisikan syaitan, melawan dan meninggalkan perkara-perkara yang boleh menjatuhkan seseorang murid itu kedalam kelalaian dan kemaksiatan serta jauh daripada Allah Azza Wa Jalla.

2. RIYADHAH – Ertinya latihan atau melatih diri dan hawa nafsu supaya tunduk di dalam melakukan wirid zikir tareqah dan ibadah-ibadah yang lain supaya menjadi suatu kelaziman bagi diri seseorang murid di dalam melakukan ketaatan serta menjauhi kemaksiatan walaupun ada masanya di dalam melakukan riyadhah ini hawa nafsu seseorang murid tiada langsung merasai manis dan lazat dalam melakukan ibadah.

Begitulah pengertian mujahadah dan riyadhah secara dasarnya untuk menambahkan lagi kefahaman bagi para murid mengenai dua perkara yang disebutkan ini. Di dalam Al-Quran disebutkan firman Allah mengenai perkara mujahadah yang bermaksud:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Ertinya:
“Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari keredhaan) KAMI, benar-benar akan KAMI tunjukkan kepada mereka jalan-jalan KAMI.” (Surah Al-Ankabut 69)

Sebagai orang Islam kita disarankan oleh Allah dan RasulNya supaya bermujahadah untuk mencapai kebaikan dan kemenangan, kerana kebaikan dan kemenangan tidak akan datang percuma begitu sahaja, apatah lagi jika seseorang murid yang melalui jalan ubudiah dan mekrifahnya kepada Allah, terlebih lagi ditekankan ke atas mereka itu (murid-murid). Seperti mana yang telah dimuafakatkan oleh para masyaikh ahli tasawuf dan tareqah yang menghukumkan wajib bari para murid itu melakukan mujahadah dan riyadhah di dalam perjalanannya menuju Allah.

Tetapi yang berlaku pada dunia hari ini kebanyakan orang-orang Islam dan murid-murid yang menjalani tasawuf dan tareqah tiada menitik beratkan perkara ini, mungkin kerana kejahilan atai tiada mempunyai ilmu dan kefahaman mengenai perkara ini. Sedangkan perkara yang disebutkan ini semua sumbernya jelas digali daripada Al-Quran dan Al-Hadith dan juga dari kitab-kitab para alim ulama’ yang zuhud dan wara’ lagi tergolong daripada aulia’ Allah, kerana itulah orang-orang Islam dan para murid yang menjalani jalan Allah tiada mendapat apa-apa kejayaan di dunia dan mungkin juga di akhirat kelak.